Selasa, 23 April 2013

Penghulu Diwajibkan Berpakaian Standar dalam Melaksanakan Tugas



http://bimasislam.kemenag.go.id/images/stories/users/penghulu.jpgJakarta, bimasislam-- Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan KUA Kecamatan dalam pencatatan nikah dan rujuk, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam mewajibkan kepada penghulu yang melaksanakan tugas untuk menggunakan pakaian standar PSL dan berpeci. Ketentuan tersebut ditetapkan melalui Peraturan Dirjen Bimas Islam tentang Penetapan Tipologi KUA, Standarisasi Gedung dan Standar Berpakaian Penghulu yang melakukan pencatatan nikah. Demikian dikatakan oleh Yayat Supriadi, M. Si, Kasubdit Pemberdayaan KUA di kantornya (18/4).
Berdasarkan pantauan bimasislam, kebijakan tersebut sebagai upaya Dirjen Bimas Islam untuk meningkatkan kualitas pelayanan KUA seiring dengan masih adanya stigma negatif sebagian masyarakat terhadap KUA sebagai unit teknis bimas islam yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Dengan adanya standarisasi PSL dan berpeci tersebut diharapkan mudah dikenali masyarakat dan tidak melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan.
Sebelumnya, Ditjen Bimas Islam juga meminta kepada seluruh aparat KUA melakukan penegakan zona integritas melalui  berbagai langkah, diantaranya dengan memasang poster layanan pencatatan nikah dan menempatkannya pada tempat-tempat strategis agar mudah dilihat dan dibaca oleh masyarakat pengguna layanan. Selain itu, pada setiap KUA diharuskan menyiapkan kotak pengaduan masyarakat terkait dengan layanan KUA dan segera merespon setiap pengaduan tersebut.
Selain itu, ditetapkan juga tipologi KUA berdasarkan jumlah peristiwa nikah yang dibagi menjadi empat tipologi, yaitu KUA Tipologi A mempunyai peristiwa Nikah lebih dari 100 peristiwa nikah, KUA Tipologi B mempunyai peristiwa nikah berkisar antara 50 sampai 99 peristiwa nikah, dan KUA Tipologi C mempunyai peristiwa nikah berkisar antara 0 sampai 49 peristiwa nikah, serta KUA Tipologi D mempunyai peristiwa nikah berkisar antara 0 sampai 49 peristiwa N yang berada pada lokasi terpencil di daerah kepulauan dan daerah yang berbatasan dengan negara tetangga. (yt)(sumber:bimasislam.kemenag.go.id)

Selengkapnya...

Minggu, 14 April 2013

PROSEDUR NIKAH



1) CALON MEMPELAI KE KANTOR DESA/KELURAHAN UNTUK DENGAN MEMBAWA :
  1. Kutipan Akta Kelahiran atau surat outentik lainnya yang menunjukkan kelahiran ( Pasal 5 ayat (2) hufuf (b) PMA No. 11 Tahun 2007
  2. Kartu Keluarga
  3. Kartu Tanda Penduduk atau surat lain yang menunjukkan kependudukan dengan mencantumkan Nomor Induk Kependudukan ( NIK )
  4. Akta Cerai/Surat Kematian apabila status pernikahan adalah Duda/Janda

2) KEPALA DESA MENERBITKAN
  1. Surat Keterangan untuk Nikah ( Model N.1 ), Surat Keterangan Asal Usul (Model N.2) Surat Keterangan tentang orang tua ( Model N.4 ) Dilengkapi dengan KTP atau data lain yang bisa menunjukkan Nomor Induk Kependudukan ( NIK )
  2. Surat keterangan hubungan keluarga mempelai putri dengan wali nikah.

Peristiwa kehendak nikah dicatat oleh Pembantu PPN disetiap desa dengan menggunakan formulir Buku Catatan Kehendak Nikah ( Model N.10 ) yang ditanda tangani oleh Pembantu PPN yang bersangkutan, Kepala Desa setempat dan Kepala KUA/PPN.

3) CALON MEMPELAI DAN WALI NIKAH SECARA PRIBADI MENDAFTARKAN PERNIKAHAN DI KUA KECAMATAN
DENGAN MEMBAWA
  1. Surat Keterangan untuk Nikah ( Model N.1 ),
  2. Surat Keterangan Asal Usul ( Model N.2)
  3. Surat Keterangan tentang orang tua ( Model N.4 )
  4. Surat Persetujuan mempelai ( Model N.3 ),
  5. Surat izin orang tua bagi mempelai yang berusia kurang dari 21 Tahun ( Model N.5 )
  6. Izin dari Pengadilan dalam hal kedua orang tua atau walinya yang berhak memberi izin dari mempelai yang usianya kurang dari 21 tahun tidak ada ( pasal 5 ayat (2) huruf (f) PMA Nomor 11 Tahun 2007.
  7. Putusan Pengadilan tentang Dispensasi apabila calon suami berumur kurang dari 19 Tahun, dan calon istri kurang dari 16 tahun.
  8. Foto Kopi KTP atas bawah atau Keterangan Domisili dengan mencantumkan NIK ( Nomor Induk Kependudukan )
  9. Foto Kopi Kartu Keluarga
10. Foto Kopi Kutipan Akta Kelahiran/Ijazah,
11. Surat izin dari kesatuan bagi anggota TNI/POLRI,
12. Akta Cerai bagi yang berstatus Duda/janda Cerai,
13. Surat Keterangan Kematian ( model N.6 ) bagi Duda/janda Kematian,
14. Izin Poligami dari Pengadilan bagi yang beristri lebih dari seorang,
15. Izin dari kedutaan, surat tanda melapor diri, Foto kopi Pasport dan visa bagi calon mempelai berkewarga negaraan asing.
16. Pemberitahuan pernikahan secara tertulis dengan menggunakan formulir Model N.7
17. Foto ukuran 2 x 3 ( dengan warna beground sama) calon mempelai masing-masing sebanyak 3 lembar.
 PROSEDUR DI KUA
  1. Calon mempelai atau walinya mendaftarkan pernikahan dan membayar biaya kas Negara sebesar Rp 600.000,- (enam Ratus ribu rupiah), sebagaimana PP Nomor 48 Tahun 2004 langsung di bayar di Bank (BNI, BRI, Mandiri)
  2. Pemeriksaan berkas pernikahan dan entri data SIMKAH (Sistim Informasi dan Management Nikah)
  3. Pemeriksaan Calon mempelai, dan wali nikah yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang ditanda tangani kedua calon mempelai, Wali Nikah, Pembantu PPN dan PPN/Penghulu (Petugas Pemeriksa)
  4. Apabila ada halangan, diberitahukan kepada mempelai untuk dilengkapi. ( dengan menggunakan formulir (Model N.8)
  5. Apabila tidak ada halangan untuk melaksanakan pernikahan, maka diumumkan pada papan pengumuman dan atau internet (KUA Online). dengan alamat http://kuamaritengngae.blogspot.com
  6. Apabila tidak memenuhi syarat, maka diadakan penolakan dengan menggunakan formulir Model N.9.
  7. Calon mempelai yang ditolak pernikahan ( karena kurang umur, Adhalnya wali atau sebab lain ) dapat mengajukan permohonan/dispensasi melalui Pengadilan Agama.
  8. Pelaksanaan pernikahan dapat dilaksanakan setelah lewat 10 hari kerja sejak Pemeriksaan nikah dan Pengumunan Kehendak Nikah.
  9. Pengecualian tersebut dapat dilakukan dengan Rekomendasi dari Camat ( pasal 16 ayat (2) PMA No. 11 Tahun 2007 ).

PELAKSANAAN AKAD NIKAH
1.     Akad nikah dilaksanakan dihadapan (dalam pengawasan) PPN, Penghulu atau Pembantu PPN oleh wali nikah di Balai Nikah ( KUA Kecamatan ) dengan dihadiri sekurang kurangnya 2 orang saksi.
  1. Akad nikah dapat dilaksanakan diluar balai nikah atas permintaan dan persetujuan PPN (Kepala KUA).
PPN mencatat peristiwa nikah dalam Akta Nikah yang ditanda tangani oleh masing masing pihak, dan kepada kedua mempelai diberikan Kutipan Akta Nikah ( Buku nikah ).

Selengkapnya...

Rabu, 10 April 2013

Fenomena Meningkatnya Angka Perceraian: Ketika Cinta Saja Tidak Lagi Cukup

Fenomena Meningkatnya Angka Perceraian: Ketika Cinta Saja Tidak Lagi Cukup 

Oleh Thobib Al-Asyhar



[Penulis Buku dan Dosen PPs Universitas Indonesia]







Maraknya berbagai pemberitaan di media masa akhir-akhir ini tentang perceraian beberapa figur publik sepertinya merupakan gambaran dari kondisi gunung es yang terdapat pada masyarakat Indonesia, terutama para pasangan suami-istri. Banyaknya tokoh atau figur publik yang disorot seakan menunjukkan kuantitas yang meningkat dari jumlah kasus perceraian di tanah air.



Keadaan ini justru berbanding terbalik dengan kondisi perekonomian masyarakat yang mengalami peningkatan, belum lagi jika dibandingkan dengan kemajuan teknologi yang nyaris tak dapat dibendung. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mark Cammack, guru besar dari Southwestern School of Law, Los Angeles, USA, pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sudah termasuk tinggi. Dari 100 pernikahan, 50 diantaranya berakhir dengan perceraian.



Jika dilihat dari faktor pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial pada masa itu, hampir seluruh masyarakat Indonesia berada pada taraf yang cukup merata. Seorang tokoh sosial Indonesia, Inti Soebagio, menyebut bahwa pada saat itu, ‘kekayaan’ masyarakat Indonesia rata-rata, nyaris tidak ada perbedaan yang jauh antara kelas-kelas dalam masyarakat. Demikian pula dengan faktor kemajuan teknologi, dimana hampir sebagian masyarakat belum tersentuh gaya hidup mengandalkan teknologi seperti sekarang.



Tetapi diakui bahwa pada era 50-60-an, justru ikatan keluarga, termasuk pola hubungan antaranggota keluarga, juga suami dan istri, masih sangat kuat. Pola-pola relasi dalam keluarga berjalan natural, sesuai dengan pola patriarkal yang dianut sebagian besar keluarga Indonesia.



Peningkatan pendapatan perkapita yang berimbas pada makin tingginya tingkat ekonomi masyarakat, berimbas pada semakin tingginya daya beli dan gaya hidup masyarakat, melahirkan banyak tuntutan yang semula tak terpikirkan oleh suami atau istri. Kemajuan teknologi juga diakui sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, kemajuan teknologi banyak memudahkan dalam berbagai hal, di sisi lain, membawa pengaruh yang tak kurang buruknya. Lancarnya arus informasi membuka wawasan masyarakat sekaligus membuat mereka kurang waspada menyaring hal-hal negatif yang muncul. Fenomena meningkatnya gaya hidup melahirkan banyak tuntutan yang kadang sulit dipenuhi pasangan. Fenomena pemberitaan tentang krisis rumah tangga, secara tak langsung berimbas pada cara para pasangan suami-istri dalam ‘menyelesaikan’ krisis rumah tangga mereka.



Pada tahun 2008 angka perceraian mencapai sekitar 200.000 kasus per 2 juta pasangan menikah. Angka ini meningkat pada tahun 2009, menjadi sekitar 250.000 kasus. Menurut Data dari Kementrian Departemen Agama RI, dari Direktorat Bimas Islam, pada tahun 2010, ada 285.184 perkara perceraian per 2 juta pasangan yang menikah. Terbanyak adalah pihak istri yang mengajukan gugat cerai, yaitu sekitar 70%, dengan alasan penyebab perceraian terbesar adalah masalah ekonomi. Rata-rata menyebutkan bahwa perceraian dipicu lantaran suami tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.



Di berbagai daerah juga menunjukkan fenomena hal yang sama. Di Kabupaten Malang, misalnya, pada tahun 2007, terjadi 2629 perkara gugat cerai dari 4625 kasus. Penggugat terbanyak adalah para istri yang menjadi Tenaga Kerja Wanita atau Buruh Migran di luar negeri.



Dari 250 warga Surabaya yang bercerai setiap harinya, ternyata ranking tertinggi didominasi oleh guru. Ini fenomena yang cukup mengejutkan. Data ini diungkapkan oleh Walikota Surabaya, Bambang DH, saat memberikan pembekalan terhadap para CPNS. Bambang DH mengakui mendapatkan data-data ini dari Pengadilan Agama. Di Kabupaten Bantul, tren perceraian juga meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data dari Pengadilan Agama setempat, hingga bulan Mei 2008 ada336 kasus, sementara sepanjang tahun 2007 ada 699 kasus. Rata-rata kasus yang ditangani perbulan ada 60 buah. Alasan terbesar adalah pengakuan para istri bahwa mereka ditelantarkan secara ekonomi oleh suami-suami mereka. Hal yang sama juga dinyatakan sebagai penyebab tertinggi dari kasus-kasus perceraian di daerah Sidoarjo, Pontianak, Tegal, Slawi, dan beberapa daerah lain.



Sebuah fakta yang terungkap menyebutkan bahwa pasangan yang paling banyak bercerai adalah pasangan usia produktif yaitu 30-40 tahun. Rata-rata pada usia tersebut, mereka sudah menikah selama 5-20 tahun.

Dari data yang dipaparkan di atas, jelaslah bahwa peningkatan ekonomi dan kemajuan teknologi yang tidak diimbangi dengan pemahaman akan hak dan kewajiban dari masing-masing pasangan akan memicu perselisihan dalam rumah tangga. Pemahaman akan hak dan kewajiban bukan hanya sekedar mampu memberikan rasa cinta kepada pasangannya, tetapi juga harus dilandasi dengan saling menghormati, menjaga, dan memahami kondisi pasangan. Tuntutan akibat peningkatan gaya hidup seharunya dapat diredam oleh komunikasi antara masing-masing suami istri dengan selalu menyertakan adab-adab yang terdapat dalam ajaran agama. Ini sesuai dengan tujuan pernikahan dalam agama Islam yaitu samara, sakinah (ketenangan, kenyamanan), mawaddah (adanya rasa sayang), dan rahmah (rasa cinta). Dengan kata lain, samara adalah bentuk kekuatan komitmen dari masing-masing pihak terhadap pasangannya. Jadi tentu cinta saja tak akan cukup. Wallahu a’lam.(Sumber: bimasislam.kemenag.go.id)

Selengkapnya...