Fenomena Meningkatnya Angka Perceraian: Ketika Cinta Saja Tidak Lagi Cukup
Oleh Thobib Al-Asyhar
[Penulis Buku dan Dosen PPs Universitas Indonesia]
Maraknya
berbagai pemberitaan di media masa akhir-akhir ini tentang perceraian
beberapa figur publik sepertinya merupakan gambaran dari kondisi gunung
es yang terdapat pada masyarakat Indonesia, terutama para pasangan
suami-istri. Banyaknya tokoh atau figur publik yang disorot seakan
menunjukkan kuantitas yang meningkat dari jumlah kasus perceraian di
tanah air.
Keadaan
ini justru berbanding terbalik dengan kondisi perekonomian masyarakat
yang mengalami peningkatan, belum lagi jika dibandingkan dengan kemajuan
teknologi yang nyaris tak dapat dibendung. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Mark Cammack, guru besar dari Southwestern School of Law,
Los Angeles, USA, pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara,
termasuk Indonesia, sudah termasuk tinggi. Dari 100 pernikahan, 50
diantaranya berakhir dengan perceraian.
Jika
dilihat dari faktor pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial pada
masa itu, hampir seluruh masyarakat Indonesia berada pada taraf yang
cukup merata. Seorang tokoh sosial Indonesia, Inti Soebagio, menyebut
bahwa pada saat itu, ‘kekayaan’ masyarakat Indonesia rata-rata, nyaris
tidak ada perbedaan yang jauh antara kelas-kelas dalam masyarakat.
Demikian pula dengan faktor kemajuan teknologi, dimana hampir sebagian
masyarakat belum tersentuh gaya hidup mengandalkan teknologi seperti
sekarang.
Tetapi
diakui bahwa pada era 50-60-an, justru ikatan keluarga, termasuk pola
hubungan antaranggota keluarga, juga suami dan istri, masih sangat kuat.
Pola-pola relasi dalam keluarga berjalan natural, sesuai dengan pola
patriarkal yang dianut sebagian besar keluarga Indonesia.
Peningkatan
pendapatan perkapita yang berimbas pada makin tingginya tingkat ekonomi
masyarakat, berimbas pada semakin tingginya daya beli dan gaya hidup
masyarakat, melahirkan banyak tuntutan yang semula tak terpikirkan oleh
suami atau istri. Kemajuan teknologi juga diakui sebagai pedang bermata
dua. Di satu sisi, kemajuan teknologi banyak memudahkan dalam berbagai
hal, di sisi lain, membawa pengaruh yang tak kurang buruknya. Lancarnya
arus informasi membuka wawasan masyarakat sekaligus membuat mereka
kurang waspada menyaring hal-hal negatif yang muncul. Fenomena
meningkatnya gaya hidup melahirkan banyak tuntutan yang kadang sulit
dipenuhi pasangan. Fenomena pemberitaan tentang krisis rumah tangga,
secara tak langsung berimbas pada cara para pasangan suami-istri dalam
‘menyelesaikan’ krisis rumah tangga mereka.
Pada
tahun 2008 angka perceraian mencapai sekitar 200.000 kasus per 2 juta
pasangan menikah. Angka ini meningkat pada tahun 2009, menjadi sekitar
250.000 kasus. Menurut Data dari Kementrian Departemen Agama RI, dari
Direktorat Bimas Islam, pada tahun 2010, ada 285.184 perkara perceraian
per 2 juta pasangan yang menikah. Terbanyak adalah pihak istri yang
mengajukan gugat cerai, yaitu sekitar 70%, dengan alasan penyebab
perceraian terbesar adalah masalah ekonomi. Rata-rata menyebutkan bahwa
perceraian dipicu lantaran suami tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga.
Di
berbagai daerah juga menunjukkan fenomena hal yang sama. Di Kabupaten
Malang, misalnya, pada tahun 2007, terjadi 2629 perkara gugat cerai dari
4625 kasus. Penggugat terbanyak adalah para istri yang menjadi Tenaga
Kerja Wanita atau Buruh Migran di luar negeri.
Dari
250 warga Surabaya yang bercerai setiap harinya, ternyata ranking
tertinggi didominasi oleh guru. Ini fenomena yang cukup mengejutkan.
Data ini diungkapkan oleh Walikota Surabaya, Bambang DH, saat memberikan
pembekalan terhadap para CPNS. Bambang DH mengakui mendapatkan
data-data ini dari Pengadilan Agama. Di Kabupaten Bantul, tren
perceraian juga meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data dari
Pengadilan Agama setempat, hingga bulan Mei 2008 ada336 kasus, sementara
sepanjang tahun 2007 ada 699 kasus. Rata-rata kasus yang ditangani
perbulan ada 60 buah. Alasan terbesar adalah pengakuan para istri bahwa
mereka ditelantarkan secara ekonomi oleh suami-suami mereka. Hal yang
sama juga dinyatakan sebagai penyebab tertinggi dari kasus-kasus
perceraian di daerah Sidoarjo, Pontianak, Tegal, Slawi, dan beberapa
daerah lain.
Sebuah
fakta yang terungkap menyebutkan bahwa pasangan yang paling banyak
bercerai adalah pasangan usia produktif yaitu 30-40 tahun. Rata-rata
pada usia tersebut, mereka sudah menikah selama 5-20 tahun.
Dari data yang dipaparkan di atas, jelaslah bahwa peningkatan ekonomi
dan kemajuan teknologi yang tidak diimbangi dengan pemahaman akan hak
dan kewajiban dari masing-masing pasangan akan memicu perselisihan dalam
rumah tangga. Pemahaman akan hak dan kewajiban bukan hanya sekedar
mampu memberikan rasa cinta kepada pasangannya, tetapi juga harus
dilandasi dengan saling menghormati, menjaga, dan memahami kondisi
pasangan. Tuntutan akibat peningkatan gaya hidup seharunya dapat diredam
oleh komunikasi antara masing-masing suami istri dengan selalu
menyertakan adab-adab yang terdapat dalam ajaran agama. Ini sesuai
dengan tujuan pernikahan dalam agama Islam yaitu samara, sakinah
(ketenangan, kenyamanan), mawaddah (adanya rasa sayang), dan rahmah
(rasa cinta). Dengan kata lain, samara adalah bentuk kekuatan komitmen
dari masing-masing pihak terhadap pasangannya. Jadi tentu cinta saja tak
akan cukup. Wallahu a’lam.(Sumber: bimasislam.kemenag.go.id)
Selengkapnya...